Jakarta, metromedia.id – Gonjang- ganjing persoalan uang Jasa Profesi (Jaspro) penghulu hingga kini belum berkesudahan, penghulu melalui Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI) sedang berusaha bernegosiasi dengan pejabat berwenang di Kementerian Agama RI, untuk segera mencairkan dana Jaspro yang menjadi hak para penghulu.
Melihat fenomena ini, para penghulu hanya menuntut hak, namun tidak pernah menghargai regulasi terkait larangan terima upeti atau amplop dari calon Pengantin.
Sejak tahun 2014, Kementerian Agama tak lagi segan memberikan sanksi pidana bagi para petugas pencatat nikah (PPN) atau penghulu yang terbukti nakal. Yakni para penghulu yang diketahui menerima uang jasa dari keluarga calon pengantin.
Inspektur Jenderal Kementerian Agama, saat dijabat oleh M Jasin pernah menegaskan bahwa gratifikasi yang terjadi di kalangan penghulu terus menjadi persoalan serius. Tindak gratifikasi itu tidak dapat ditoleransi. Perlu penindakan yang efektif diberlakukan bagi penghulu nakal.
“Aturan dan sanksinya sudah disiapkan. Peraturan pemerintahnya sudah ada, Peraturan Menteri Agama juga ada. Jadi sudah jelas sanksinya,” sebut M. Jasin beberapa waktu silam,
PP No. 48 Tahun 2014 tentang Tarif atas Jasa PNBP sudah berlaku. Diperjelas pula melalui PMA No 24 Tahun 2014 tentang Pengelolaan PNBP atas Biaya Nikah dan Rujuk di luar Kantor Urusan Agama. Seluruh aturan itu mengatur terkait hak yang diterima penghulu.
Menurut M. Yasin, regulasi itu harus terus disosialisasikan. Masyarakat perlu mengetahui persis mengenai biaya nikah yang dikenakan. Termasuk perihal lain yang diperlukan dalam peristiwa nikah.
“Masyarakat harus sadar tidak boleh lagi memberikan uang amplop pada penghulu. Cukup sekali biaya saja,” tandas M Jasin seraya menyatakan, hal demikian hanya dikenakan bagi pernikahan yang dilakukan di luar kantor KUA. Dengan biaya nikah yang telah diatur sesuai PP No 48 Tahun 2014 sebesar Rp. 600 ribu. Uang tersebut disetorkan melalui bank.
Dengan regulasi tersebut, dia memastikan tugas penghulu yang melakukan kegiatan di luar jam kerja telah mendapat perhatian pemerintah. Melalui pemberian uang transport dan uang jasa profesi yang dilegalkan.
“Artinya kan tidak ada lagi alasan bagi penghulu menerima uang nikah di luar. Karena negara telah memberikannya secara terukur,” tuturnya.
Seharusnya, sudah tidak ada lagi pungutan apapun pernikahan. Cukup bayar Rp 600 ribu bagi calon pengantin.
Masih Bandel
Melihat kondisi di lapangan mayoritas penghulu tak mengindahkan larangan yang ada.
Persoalan Terima amplop memang sudah menjadi kearifan lokal, namun regulasi yang ada tetap harus dipatuhi.
Berdasarkan pemantauan metromedia.id di setiap Kantor Urusan Agama (KUA) di seantero DKI Jakarta, penerimaan amplop dari calon pengantin sudah menjadi hal yang lazim padahal sudah ada larangannya.
Irjen Harus Turun
Dengan sikap membandel para penghulu yang terkesan melabrak PP No. 48 Tahun 2014 dan PMA No. 24 Tahun 2014, Inspektorat Kemenag harus turun ke KUA untuk membuktikan adanya penerimaan “upeti” dari calon pengantin kepada penghulu.
“Itjen Kemenag harus memantau setiap ada peristiwa pernikahan, dan jangan pasif menunggu aduan dari masyarakat (Dumas). Menunggu aduan dari masyarakat tidak bakal ter akomodir karena berbenturan dengan kearifan lokal”.
Penulis: H. Gamal Hehaitu