Jakarta, metromedia.id – Pada awal tahun 2023, Menag Yaqut Cholil Qoumas yang akrab disebut Gusnen, menegaskan komitmen anti-korupsi sebagai landasan utama.
Inspektorat Jenderal Kementerian Agama (Itjen Kemenag) turut mengapresiasi pesan tersebut dengan percepatan pembentukan Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG).
Irjen Kemenag Faisal Ali Hasyim mengungkapkan, sejak tahun 2021 hingga 2023, Itjen Kemenag telah berhasil mengawal terbentuknya 187 UPG yang tersebar dari tingkat pusat hingga Kementerian Agama di Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
Proses percepatan pembentukan UPG terjadi dalam tiga tahun terakhir, dengan peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Pada 2021, terbentuk 67 UPG di berbagai tingkatan, sedangkan pada 2022 jumlahnya meningkat menjadi 106 UPG. Tahun 2023 menjadi tahun yang paling produktif dengan tambahan 71 UPG. Totalnya mencapai 187 UPG.
Faisal menegaskan, komitmen untuk terus mendorong satuan kerja agar semakin banyak yang memiliki UPG. Progres positif ini mencerminkan keseriusan Kementerian Agama dalam menciptakan lingkungan kerja bersih dan bebas dari korupsi. Harapannya, UPG dapat memperkuat sistem pencegahan korupsi, menjaga kebersihan dan transparansi lingkungan kerja, serta menggalakkan partisipasi aktif dalam pencegahan gratifikasi.
Pembentukan UPG dianggap sebagai langkah konkrit dalam intensifikasi budaya antikorupsi dan pemahaman pegawai, sekaligus penguatan struktur tata kelola Unit Pengendalian Gratifikasi pada Satuan Kerja.
Faisal menekankan, UPG ini merupakan langkah nyata dalam mewujudkan good governance di lingkungan Kementerian Agama.
Cara Pelaporan Gratifikasi
Faisal menguraikan, ada dua cara untuk melaporkan gratifikasi. Pertama, melaporkan gratifikasi secara mandiri kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pelapor, dapat datang langsung, atau mengirimkan laporan via pos, surat elektronik, atau aplikasi KPK pada laman https://gol.kpk.go.id, kedua, melaporkan gratifikasi melalui UPG Satuan Kerja dan meneruskannya ke UPG Instansi Pusat.
Faisal mengatakan, Kementerian Agama telah menerbitkan Peraturan Menteri Agama 23 Tahun 2021 tentang Pengendalian Gratifikasi pada Kementerian Agama. Regulasi ini antara lain mengatur tentang gratifikasi yang terbagi menjadi dua kategori, yaitu kategori gratifikasi yang wajib dilaporkan dan tidak wajib dilaporkan.
“Gratifikasi yang wajib dilaporkan merupakan gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas pegawai. Sedangkan, gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan adalah gratifikasi yang tidak terkait dengan kedinasan,” tukas Faisal.
Regulasi Gratifikasi
Peraturan mengenai gratifikasi diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa gratifikasi mencakup berbagai bentuk pemberian, mulai dari uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, hingga perjalanan wisata dan pengobatan cuma-cuma.
Penting dicatat bahwa gratifikasi dapat diterima baik di dalam negeri maupun di luar negeri, serta melibatkan sarana elektronik atau tidak.
Pasal 12B dalam UU No. 20 Tahun 2021 secara tegas menyatakan bahwa gratifikasi yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dapat dianggap sebagai suap apabila terkait dengan jabatan atau bertentangan dengan kewajiban atau tugas yang diemban. Penerima gratifikasi berisiko menghadapi hukuman penjara seumur hidup atau minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun, dengan dendan berkisar antara Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.
Dengan adanya UPG ini, Irjen Kemenag, harus konsen mengawasi kenerja pegawai esselon III di Kanwil Kemenag DKI Jakarta. Pasalnya, di Kanwil Kemenag DKI Jakarta diduga banyak praktik transaksional yang tidak bisa dibuktikan dengan kwitansi, tanda terima.
Penulis: Firdaus
Editor: H. Gamal Hehaitu