
Jakarta, metromedia.id – Seorang suami/ istri bersama pasangannya yang baru dinikahi secara sirri bisa terindikasi telah melakukan “perzinahan’.
Pasangan nikah sirri itu terancam pidana penjara sebagaimana diatur pasal 284 KUHPidana.
Hal itu bisa terjadi apabila ada aduan suami/istri sah.
Ancaman pidana pasal 284 KUHPidana ini lepas, si suami/ istri yang seorang ASN, itu masih terancam dijatuhi sanksi disiplin berat oleh atasannya berupa pemberhentian dengan tidak hormat alias dipecat lantaran melanggar PP 10/1984 jo PP 45/1990 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS.
Uniknya. si suami/istri sah sepertinya sengaja tidak dulu melaporkan poligami tidak resmi suaminya itu ke pimpinan, tetapi malah mempersangkakan “perzinahan”.
Ketika suami/istri yang sah (dibuktikan dengan buku nikah) tinggal serumah, sekamar dan seranjang dengan pasangan lain tanpa diikat perkawinan yang sah (menurut Undang Undang) maka disinilah pasal itu menjerat ; patut diduga kiranya telah melakukan perzinahan.
Dua orang dewasa berbeda jenis kelamin baru bisa dikatakan suami istri apabila pernikahannya dilakukan sesuai dengan ketentuan ajaran agama dan pernikahan itu dicatat oleh Pegawai pencatat Nikah (PPN/Penghulu), sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974. Pernikahan bawah tangan yang dilakukan si suami/ istri dengan pasangannya, belum memenuhi unsur-unsur pernikahan yang sah (menurut terminologi Undang Undang).
Artinya, kedua pasangan tidak terikat dalam perkawinan yang sah tetapi patut diduga kiranya telah melakukan perbuatan zina sebagaimana diatur Pasal 284 KUHPidana karena tinggal serumah sekamar dan seranjang seketiduran.
Ancaman penjara sebagaimana diatur dalam pasal 284 KUHPidana tersebut tertuju kepada seorang suami/ istri yang terikat perkawinan, atau seorang laki atau perempuan yang tidak terikat pernikahan. ikut serta melakukan perbuatan perzinahan dengan seseorang laki-laki atau wanita yang diketahuinya orang itu telah menikah atau diketahuinya masih terikat pernikahan dengan orang lain.
Selain ancama pasal 284, masih ada pasal 279 KUHPidana pada ayat (1) disebutkan “Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu”.
Menjadi penghalang disini, bahwa suami yang menikah lagi itu, sebetulnya mengetahui dan menyadari bahwa untuk bisa menikah lagi diperlukan izin istrinya untuk poligami dari Pengadilan, tetapi hal itu diterabasnya.
Pada ayat (2) ancaman hukumannya lebih berat lagi, yaitu hukuman penjara selama 7 tahun jika suami yang menikah lagi itu menyembunyikan fakta bahwa dirinya masih terikat perkawinan dengan perempuan lain.
Terkait dengan pasal 279 KUHP ini, para penghulu liar yang membantu pelaksanaan pernikahan itu, juga dapat dijerat pidana turut serta, karena dia berada pada posisi “mengetahui adanya penghalang” menurut undang undang atas diri laki-laki yang dinikahkannya tersebut.
Ancaman pemecatan ASNnya sendiri tidak lain karena melanggar PP 10/1984 jo PP 45/990 tentang Izin Perkawinan/ Perceraian bagi PNS. PP ini merupalam tindak lanjut dari Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 1/ 1974 yg menegaskan setiap orang yg berpoligami wajib mendapatkan persetujuan tertulis dari istri.
Izin tertulis itu diajukan ke persidangan untuk mendapatkan izin dari Pengadilan (Agama).
Terhadap seorang PNS, sebelum yang bersangkutan mengajukan izin ke Pengadilan (Agama) dia terlebih dahulu sudah harus mengantongi izin dari pimpinan (dalam hal ini BKD). ASN yang melanggar ketentuan Pasal 15 ayat (1) PP 10/1984 jo Pasal 4 ayat (1) PP 45/1990 terancam sanksi disiplin berat sebagaimana termaktub pada PP 30/1980 yang sudah diganti degan PP No. 53/2010 berupa ; pemecatan, pemberhentian dari jabatan, pemindahan dan penurunan jabatan atau minimal penurunan pangkat satu tingkat selama 3 tahun.
Memang, pelanggaran PP 10/1984 (jo) PP 45/1990, jarang terkuak karena sifatnya delik aduan absolut. Artinya, istri (sebagai pihak yg dirugikan) harus melaporkan kepada atasan suaminya beserta bukti-bukti yang kuat. Bila tidak, atasan ASN tersebut tidak bisa mengambil langkah penjatuhan sanksi.
Hal paling mendasar adalah ketika para suami yang berpoligami (khususnya yang menduduki jabatan strategis) dengan lihai menjatuhkan mental istri mereka dengan memohon agar tidak melaporkan hal itu kepada atasannya. Karena, bila dilaporkan istrinya, dia tentu akan menghadapi ancama pemecatan. Bila dia sebagai pejabat dipecat, tentunya dia dan isterinya tidak dapat lagi menikmati segala fasilitas dan kemewahan sebagai pejabat.
Kepada isterinya juga dia katakan bahwa isterinya tidak bisa lagi jalan-jalan studi banding, arisan sosialita istri-isteri pejabat, rumah dan mobil dinas, dll.
Terlebih bila si istri hanyalah seorang ibu rumah tangga murni, yang penghidupannya tergantung semata hanya kepada suaminya.
Penulis: H. Gamal Hehaitu