
Jakarta, metromedia.id –– Gonjang- ganjing seputar aturan meniadakan opsi pengenaan jilbab atau hijab bagi anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (Dirjen HAM) Kementerian Hukum dan HAM Dhahana Putra bersuara lantang. Ia mengecam Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang mengeluarkan aturan tersebut.
Menurut Dhahana, Surat Keputusan Kepala BPIP Nomor 35 Tahun 2024 telah menimbulkan kecurigaan publik.
“Adanya aturan itu membuat 7 Paskibraka putri memilih melepas hijab secara sukarela sebagaimana yang kita lihat pada pengukuhan saat itu. Harus diakui, ini membuat masyarakat bertanya-tanya mengapa seragam Paskibraka tidak memperkenankan penggunaan hijab,” ungkap Dhahana dalam keterangan persnya, Kamis (15/8/2024).
Dhahana mengaku Ditjen HAM telah dihubungi banyak kalangan merespons kegaduhan akibat keputusan BPIP tersebut. Mereka, kata Dhahana, mempertanyakan alasan tidak diperbolehkannya jilbab untuk dikenakan Paskibraka saat pengibaran bendera pusaka tahun ini di Ibu Kota Nusantara (IKN). Padahal, tahun-tahun sebelumnya, pengenaan jilbab bagi Paskibraka putri tidak pernah menjadi persoalan.
“Hemat kami kebijakan semacam ini seyogianya ditimbang matang-matang agar tidak menimbulkan asumsi negatif masyarakat terhadap panitia pelaksanaan Pengibaran Bendera pada 17 Agustus mendatang,” ucap dia.

Dhahana meyakini pengenaan jilbab dalam upacara pengibaran bendera di IKN tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di Pancasila.
“Justru adanya Paskibraka yang mengenakan jilbab ini menunjukkan keberagaman atau semangat Bhineka Tunggal Ika yang menjadi filosofi kehidupan berbangsa kita,” urai Dhahana, seraya menyatakan, pengenaan jilbab oleh anggota Paskibraka di tahun-tahun sebelumnya merupakan praktik baik penerapan HAM bagi perempuan di tanah air. Terlebih Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) sejak empat dekade silam.
“Sebagai negara pihak dalam CEDAW, pemerintah berkomitmen untuk menghapus praktik-praktik diskriminatif terhadap perempuan,” ungkapnya.
Dhahana meyakini polemik terkait ketiadaan opsi pengenaan jilbab bagi Paskibraka putri dalam acara pengibaran bendera di IKN mendatang akan direspons secara arif oleh BPIP.
“Kami percaya tentu Pak Kepala BPIP akan dengan bijaksana mendengar kekhawatiran publik untuk kemudian akhirnya menimbang ulang aturan ini,” tukasnya.
Keputusan BPIP dimaksud menuai kritik tajam dari sejumlah elemen masyarakat seperti politisi hingga organisasi masyarakat (ormas) seperti MUI dan Muhammadiyah.
Kepala BPIP Yudian Wahyudi mengklaim penampilan anggota Paskibraka yang tidak mengenakan jilbab saat pengukuhan dan bertugas adalah kesukarelaan masing-masing mengikuti peraturan yang ada.
Menurutnya, hal itu sudah disepakati dalam surat pernyataan kesediaan yang bermeterai Rp10.000.
Ia membeberkan, penampilan anggota Paskibraka yang lepas jilbab hanya dilakukan saat pengukuhan Paskibraka dan pengibaran bendera merah putih pada upacara kenegaraan.
“BPIP menegaskan tidak melakukan pemaksaan lepas jilbab, penampilan Paskibraka dengan mengenakan pakaian atribut dan sikap tampang, sebagaimana terlihat dalam pelaksanaan tugas kenegaraan yaitu pengukuhan Paskibraka adalah kesukarelaan mereka dalam rangka mematuhi peraturan yang ada,” sebut Yudian dalam konferensi pers, Rabu (14/8).
Sementara itu, Kepala Sekretariat Presiden (Kasetpres) Heru Budi Hartono yang juga Pj. Gubernur DKI Jakarta menyebut BPIP tidak melaporkan kepada Istana terkait perintah Paskibraka putri melepas jilbab saat upacara pengukuhan di IKN, Kalimantan Timur, Selasa (13/8/2024).
“Kalau saya tidak dilaporkan,” tegas Heru di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (14/8/2024).
Jika ada laporan dari BPIP, ia menyebut Istana akan mengambil kebijakan Paskibraka putri tetap mengenakan jilbab sebagaimana saat seleksi. Namun kini, kata dia, BPIP telah berkoordinasi dengan Sekretariat Presiden Joko Widodo.
“Hasilnya adik-adik putri harus sebagaimana mereka mendaftar, menggunakan jilbab ya,” tukasnya.
Yudian dulu dan Sekarang
Betapa penting kita harus selalu berdoa memohon kepada Allah SWT agar ditetapkan hati kita untuk istiqamah dalam Islam dan ketaatan kepada-Nya. Karena betapa banyak orang yang berguguran di jalan ini, kemudian menyimpang dan berada dalam “subulus-syayathin”(jalan-jalan setan). Penyebabnya yang paling pokok, sebagaimana kata Nabi SAW, adalah menjual iman dengan secuil kenikmatan dunia.
Banyak orang yang takut miskin di dunia dengan mengadaikan akidahnya. Uang, popularitas, jabatan, adalah pintu-pintu yang bisa menjeratnya untuk menyimpang dari jalan kebenaran.
Kita prihatin, ada seorang rektor dari kampus yang membawa nama Islam dan menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dengan pongahnya mengatakan bahwa agama adalah musuh terbesar Pancasila. Padahal, tanpa ruh agama, apakah sila-sila dalam Pancasila itu bisa tegak berdiri, tumbuh dan berkembang di negeri ini?
Prof. Yudian Wahyudi Asmin, orang yang melontarkan pernyataan itu bukan pribadi yang tumbuh dari keluarga yang sekular. Ia pernah mengenyam pendidikan di Pesantren Tremas, Pacitan, dan Pesantren Al-Munawwir Krapayak, Jogjakarta. Masa mudanya dihabiskan dengan kegiatan keilmuan, diantaranya dengan menulis dan menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke bahasa Indonesia.
Anda mungkin heran, Yudian yang saat ini dikenal sebagai sosok kontroversial; melarang cadar di kampus, meloloskan disertasi tentang “milkul yamin” yang dianggap sebagai wacana legalisasi perzinahan, dan mengatakan agama adalah musuh besar Pancasila, dulunya adalah penulis dan penerjemah buku-buku bertemakan akidah dan pergerakan Islam.
Saat masih studi di UIN Suka Jogjakarta pada tahun 90-an, Yudian adalah penerjemah buku-buku Pustaka Mantiq (Solo), Penerbit Al-Ikhlas (Surabaya), dan Pustaka Al-Kautsar (Jogjakarta sebelum akhirnya pindah ke Jakarta). Penerbit2 itu tentu dikenal banyak berkontribusi dalam menerbitkan buku-buku yang membentengi akidah umat Islam.
Diantara buku-buku yang pernah ditulis dan diterjemahkan oleh Yudian adalah; Islam di Gerogoti Aliran-aliran Destruktif (Pustaka Mantiq 1994), Evolusi Moral, terjemahan karya Muhammad Quthb (Al-Ikhlas, 1995), Koreksi Atas Pemahaman Laa Ilaaha Illallah, terjemahan karya Muhammad Quthb (Pustaka Al-Kautsar, 1994), Koreksi Atas Pemahaman Ibadah, terjemahan karya Muhammad Quthb (Pustaka Al-Kaustar, 1990), Salah Paham Terhadap Wanita, terjemahan karya Syaikh Abdullah bin Ahmad Al-Jalali (Pustaka Al-Kautsar, 1993), Istriku Didiklah Anak ke Jalan Surgawi, terjemah karya Hasan Al-Asymawi (Pustaka Mantiq, 1994), Wasiat Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab, terjemah karya Muhammad Ahmad Asyur (Pustaka Mantiq, 1989), Al-Iman, terjemahan karya Syaikh Abdul Majid Az-Zandani (Pustaka Al-Kautsar, 1994), Tabarruj, terjemahan karya Ni’mah Rasyid Ridha (Pustaka Al-Kautsar, 1994), dan lain-lain. Selain itu, buku karya Howard M. Fidersfield yang berjudul “Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX yang diterbitkan oleh Universitas Gajah Mada, Jogjakarta, juga hasil terjemahan Yudian.
“Sungguh, menegakkan syariat Allah di bumi dan berhukum pada apa yang diturunkan oleh Allah, sebagai konsekwensi langsung dari Laa Ilahaa Ilallah, merupakan bagian dari pemahaman Islam terhadap peradaban. Sungguh menegakkan keadilan Robbani di bumi seperti apa yang dikehendaki Allah, yang karenanya Ia menciptakan umat ini untuk merealisasikannya, juga merupakan bagian dari pemahaman Islam terhadap peradaban…” demikian tulis Muhammad Quthb dalam buku “Mafahim Yanbaghi ‘An Tushahhah” yang kemudian diterjemahkan oleh Yudian dkk, dengan judul “Koreksi Atas Pemahaman Ibadah”. Buku ini menjelaskan bahwa ibadah bukan sekadar shalat saja, tetapi juga menegakkan aspek2 keadilan dan kemashlahatan dalam kehidupan yang luas, yang landasannya adalah iman kepada Allah.
Semoga Prof. Yudian bisa mengingat-ingat kembali apa yang dulu pernah diyakini dan dipelajarinya, dan tidak membenturkan antara agama dan Pancasila.
Penulis: H. Gamal Hehaitu