
Jakarta, metromedia.id – Makna yang terkandung dalam pasal 28 UUD negara Republik Indonesia tahun 1945 yakni negara menjamin hak asasi manusia secara menyeluruh yang mencakup hak hidup, hak membentuk keluarga, mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, perlakuan yang sama di mata hukum, hak memeluk agama, dan beribadat menurut agamanya, dan hak-hak lainnya.
Namun makna dalam pasal 28 UUD 1945 tersebut tidak dirasakan oleh puluhan Nelayan Panenan PLTU, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Pasalnya akses jalan keluar dan masuk para nelayan tersebut di tutup rapat oleh Pagar Beton.

Pengakuan Yonggeng asli Nelayan Panenan mengatakan, dulu istri saya pernah didatangi oleh seorang wanita yang berkunjung kesini, katanya dari asisten perempuan mengatasnamakan dari Ancol atau dari mana untuk menutup ini.
“Lah terus istri saya bertanya, lah kok ditutup lagi?, katanya mau dikasih jalan biar segini (satu meter) juga boleh, ibu sendiri yang bilang dulu, kata Istri saya gitu karena saya nggak ngikut,” tutur Yonggeng menirukan cerita sang istri kepada awak media di Lokasi, Rabu (18/9/2024).
Lebih lanjut Yonggeng menceritakan, nah bagaimana kalau disana, kata ibu itu. Ya bagaimana mau suruh berenang ke sebrang ya nggak bisa, dan bagaimana kalau misalnya nelayan ada yang sakit perlu bantuan Lewat mana?. Apa mau naik ke atas kawat?, nggak bisa jawab, akhirnya asisten itu pergi. Begitu pergi istri saya lompat ini.

“Oleh karenanya, kita berharap supaya dapat akses walaupun semeter, yang penting bisa lewat gitu. Walaupun misalnya satu meter atau lebih itu sudah kita syukuri,” kata Yonggeng.
“Kenapa kita ini para nelayan panenan tidak pernah mendapatkan hak yang sama, hingga saat ini pun puluhan nelayan panenan yang berada di PLTU Jakarta Utara belum mendapatkan kemerdekaan dari pemerintahan DKI Jakarta.
Sementara itu juga Rony salah satu Nelayan Panenan menambahkan, kalau saya mah sama kawan-kawan minta akses jalan untuk nelayan saja.
“Gini kita orang ada yang hidup bukan cuma nelayan doang. Nah pertama nelayan kita kehabisan daya untuk menjual kan tidak ada akses pintu orang datang. Terus ke-dua juga temen-temen buka warung ya nggak bisa, kita benar-benar tercekik lah. Dalam hal ini, itu sebagai dasar kebutuhan kita kan perlu tuh macem-macem, cuma saya mau kasih tau, cuman saya pemancing yang sedang perbaiki perahu ya saya juga nggak bisa bolak-balik,” jelas Rony.
Rony selanjutnya mengatakan, apalagi kita pas masuk mentok, ketemu satpamnya kita jadi ciut, takut ya.
“Kalo diancem mah nggak, cuma diarahin. Cuman jalannya, jalan kayak lobang tikus aja. Nggak boleh naik pager. Kalo untuk nelayan sih nggak lewat pager ya, nggak naik-naik pager nggak ngerusak pager. Paling diarahin sama scuritynya lewat lobang itu, ya lewat lobang itu. Selain itu yang ngerusak pager saya nggak tau,” terang Rony.

Intinya sambung Rony, kita nggak mau propokatif lah, nggak mau ngerusak lah, cuma ya kalo perusakan apa karena pengunjung ya kita nggak tau siapa?, kan dia mau masuk mungkin merasa pusing. Mungkin dia gunting kawatnya, ya itu bukan bagian dari kita.
“Cuma, kita cuma nuntut itu lah sederhana, hal yang sangat mendasar. Bahwa kita punya akses untuk jalan,” tuturnya.
Karena itu kehidupan kan, kata pak anggeng, misalnya, ada orang tiba-tiba sakit malam itu apa yang terjadi. Atau anak-anak manjat saya lihat tuh, takut jatuh.
“Kalau jatuh terjadi, siapa yang tanggung jawab?, kan gitu ada ‘apa-apa’, syukur-syukur sih jangan sampai kehilangan nyawa kan. Orang patah macem-macem, juga satu problem buat saya sih,” pungkas Rony.
Penulis : Aloy