Oleh: M. Ishom el Saha (Wakil Dekan 1 Fakultas Syariah UIN SMH Banten)
Permohonan itsbat nikah yang diajukan pasangan artis Rizky Febian dan Mahalini di Pengadilan Agama (PA) Jakarta Selatan telah menjadi sorotan publik. Tak sedikit masyarakat berspekulasi ada masalah apa dalam perkawinan putra sulung artis “Sule” Entis Sutisna?
Baru seumur jagung masa perkawinan mereka tetapi sudah berperkara di pengadilan. Ada pula masyarakat yang sudah membaca kronologi berita itu, kemudian bertanya-tanya kenapa memilih itsbat nikah dan bukan mengulang akad nikah?
Secara kronologis, Rizky Febian dan Mahalini telah melangsungkan akad nikah pada 10 Mei 2024. Hanya saja pernikahan artis itu tidak dilangsungkan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah. Sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.”
Di Indonesia hanya ada dua lembaga pencatatan nikah, yaitu penghulu KUA Kecamatan yang mencatat peristiwa perkawinan pasangan Muslim, dan pejabat Kantor Catatan Sipil Kabupaten/Kota bagi pasangan non-Muslim. Sementara dalam peristiwa perkawinan Rizky Febian dan Mahalini sama sekali tidak melibatkan lembaga pencatatan nikah yang diakui negara.
Rizky Febian menikahi Mahalini dalam status muallaf atau baru masuk Islam. Secara hukum agama maupun hukum negara diatur bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Jika perkawinan artis itu dilakukan secara Islam maka ada empat rukun yang harus dipenuhi, yakni mempelai laki-laki dan Perempuan, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab-kabul.
Masalah pokok perkawinan muallaf sering muncul terkait keberadaan wali nikah. Wali nikah menjadi keharusan sebagaimana hadits Rasulullah SAW: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Dalam Islam ditentukan wali nikah adalah ayah, saudara laki, kakek, dan kerabat laki-laki lain yang terdekat dengan mempelai wanita dari jalur ke bawah dan ke samping.
Mereka disebut juga sebagai Wali Nasab. Mereka yang menjadi wali nikah harus beragama Islam. Apabila tidak ada Wali Nasab yang Muslim maka keberadaan wali diambil alih oleh Wali Hakim. Disebut wali hakim karena orang itu yang berhak dan berkuasa untuk melakukan perbuatan hukum bagi orang yang berada di bawah perwaliannya.
Siapa yang disebut wali hakim? Dasar hukum wali hakim bersumber hadits Rasulullah SAW: “Dari Aisyah r.a berkata, Rasulallah SAW bersabda: Perempuan mana saja apabila menikah dengan tidak seizin walinya, maka nikahnya batal. Dan jika (laki-laki yang menyukainya) menggaulinya, maka wajib baginya membayar mahar untuk kehormatan yang ia peroleh dari persebadanannya itu.
Jika mereka (para wali) bertengkar, maka sultan adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali.”
Hadits ini kemudian dijadikan landasan ulama fiqh, seperti Syekh Zainuddin al-Malibari al-Fanani, di dalam karyanya Fathul-Muin, halaman 1.383. Dia berkata: “Setelah semua urutan wali tidak ada maka jabatan wali jatuh kepada sultan atau wakilnya. Yang dimaksud sultan adalah orang yang memiliki kekuasaan seperti imam, qadhi dan wakil-wakilnya.”
Berdasarkan tinjauan ini konsep wali hakim di Indonesia telah ditransformasikan ke dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim (PMA No. 30/2005). Wali hakim adalah Kepala KUA Kecamatan yang ditunjuk oleh Menteri Agama. Jika pejabat itu berhalangan atau tidak ada maka digantikan Kepala Seksi yang membidangi Urusan Agama Islam atas nama Kepala Kemenag Kabupaten/Kota.
Di kalangan masyarakat Indonesia transformasi wali hakim sesuai PMA No. 30/2005 itu tidak dipahami dengan baik. Dalam perkawinan yang dilakukan di bawah tangan (nikah sirri) sering terjadi tokoh agama diperankan menjadi wali hakim. Hal serupa terjadi dalam kasus perkawinan Rizky Febian dan Mahalini.
Oleh sebab itu, jalan keluar dari masalah nikah sirri dengan wali hakim dari unsur tokoh agama non-pemerintah adalah melakukan akad nikah ulang, bukan itsbat nikah! Hal ini sesuai dengan mengacu UU Perkawinan dan PMA No. 30/2005. Pernikahan yang sudah terjadi dianggap batal secara hukum agama dan hukum negara. Wallahu a’lam.* Sumber Kemenag RI