
HUKUM MAKMUM BERSUARA KERAS SAMPAI MENGGANGGU IMAM DAN JAMA’AH LAINNYA
Oleh : Hasan Yazid Al-Palimbangy
Disampaikan pada Pengajian Kamis Subuh di masjid ANNUR PJMI BINTARO Tangsel 09 Rajab 1446 H/09 Januari 2025 M
Pada dasarnya aturan suara bacaan bagi makmum dalam shalat jama’ah adalah dengan SUARA LIRIH kecuali dalam 2 tempat, yaitu bacaan amin bersamaan dengan imam ketika selesai membaca surat Al-Fatihah; dan (2) bacaan amin ketika imam membaca doa qunut.
Hal ini berdasarkan hadits berikut:
Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: “Sungguh Rasulullah saw bersabda: “Ketika Imam membaca amin maka kalian bacalah amin pula. Sebab sungguh orang yang bacaan aminnya berbarengan dengan imam maka akan terampuni dosanya yang telah lewat.” (HR Muslim).
Artinya, “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Rasulullah saw telah membaca doa qunut selama sebulan berturut-turut dalam shalat Zuhur, Asar, Magrib, Isya dan subuh di akhir setiap shalat, yaitu ketika ia usai mengucapkan sami’llahu liman hamidah, para rakaat terakhir dimana Rasulullah saw mendoakan kerugian bagi beberapa kabilah dari bani Sulaim, yaitu kabilah Ri’lin, Dzakwan dan ‘Ushaiyyah, dan para makmum mengamini di belakangnya.” (HR Abu Dawud).
Hadits pertama menjadi dalil kesunnahan makmum membaca keras amin bersamaan dengan imam seusai bacaan surat Al-Fatihah oleh Imam, dan hadits kedua menjadi dalil kesunahan makmum membaca amin atas bacaan doa qunut Imam. (Sayyid Al-Bakri, I’anatut Thalibin, juz I, halaman 147 dan 161).
Selain dalam dua bacaan ini—(1) bacaan amin bersamaan dengan imam ketika selesai membaca surat Al-Fatihah; dan (2) bacaan amin ketika imam membaca doa qunut—maka makmum makruh mengeraskan bacaannya.
Hal ini seperti ketika dahulu para sahabat yang bermakmum kepada Nabi saw, tapi justru ada makmum yang membaca surat secara keras di belakangnya, lalu diperingatkan olehnya:
Artinya, “Diriwayatkan dari Imran bin Husain, sungguh Rasulullah saw shalat Zuhur, lalu ada seorang lelaki membaca surat sabbihisma rabbikal a’la di belakangnya. Lalu ketika Rasulullah saw selesai shalat, ia bertanya: “Siapa yang membaca?” atau “Siapa si pembaca tadi?” Lalu seorang lelaki menjawab: “Aku”. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Sungguh aku menduga bahwa sebagian dari kalian, yakni bacaan suratnya itu telah menentangku.” (HR Muslim).
Dalam menjelaskan maksud hadits di atas Imam An-Nawawi menyatakan, maksudnya adalah Nabi mengingkari CARA BACA makmum yang keras itu, bukan mengingkari bacaaannya. (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz IV, halaman 109).
Dalam kitab Al-Majmu’ Imam An-Nawawi menerangkan bahwa hukum makmum membaca secara keras adalah makruh. (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, juz III, halaman 390).
Lalu bagaimana bila kerasnya bacaan makmum sampai mengganggu imam ? Dalam hal ini maka dilihat:
(1). Apabila bacaan keras makmum tersebut menimbulkan gangguan yang berat atau telah nyata-nyata mengganggu orang lain, maka hukumnya haram;
(2). Apabila hanya menimbulkan gangguan ringan atau tidak nyata-nyata menggangu orang lain, maka hukumnya makruh, tidak sampai haram. Syekh Abdul Hamid As-Syirwani menjelaskan:
Artinya, “Ibnul Imad berkata: “Dan haram bagi setiap orang untuk bersuara keras di dalam dan di luar shalat bila mengganggu orang lain seperti mengganggu orang shalat, orang yang sedang membaca Al-Quran, atau orang yang sedang tidur, karena mengganggunya. Dan dalam hal mengganggu atau tidaknya dikembalikan kepada orang yang terganggu, meskipun ia adalah orang fasik. Karena hal itu tidak dapat diketahui kecuali darinya. Demikian kata Ibnul Imad. Hukum haram yang disebut Ibnul Imad ini telah jelas, tapi bertentangan dengan pendapat kitab Al-Majmu’ dan selainnya yang seolah-oleh terang-terangan tidak mengharamkannya. Kecuali bila pendapat yang tidak mengharamkannya itu dipahami dalam konteks yang ada hanyalah gangguan ringan. Demikian dalam kitab Al-Mukhtashar lis Syarih. Demikian kata Syekh Bashri. Dari guruku Syekh Bashri juga akan ada pemahaman yang kompromis lagi selain ini. Dan haram membaca dengan suara keras di dalam shalat di sisi orang yang terganggu dengannya. Sebagian ulama berpendapat hal itu hukumnya hanya makruh. Namun semestinya konteks pendapat ini adalah ketika tidak terbukti mengganggu.” (Abdul Hamid As-Syirwani, Hawasyis Syirwani, juz II halaman 57).
Demikianlah hukum makmum mengeraskan suara dalam shalat menurut mazhab Syafi’i.
Wallahu a’lam bisshowab***