
JAKARTA, METROMEDIA.ID –
Mantan preman Tanah Abang, Rosario de Marshall alias HERCULES telah malang melintang di dunia malam. Bahkan ia menjadi gelandangan hampir 15 tahun dan telah merasakan pahit manisnya dunia hitam bermodal keberanian.
Sebelum menggelandang, HERCULES bekerja di suatu tempat pendidikan militer. Gaji yang diperoleh hanya untuk menopang hidup, yang akhirnya keluar dan memilih menjadi gelandangan. Justru, penghasilannya saat menjadi gelandangan jauh lebih besar dari gaji pekerjaan sebelumnya. Satu malam ia bisa mengais satu hingga dua juta rupiah. Hal itu dialami di era tahun 90-an.
“Karena daerah Lambak Hitam ini tinggal tergantung kitanya aja. Kita kalau berani mati ya pasti Lambak Hitam itu dikuasai sama kita,” sebut Hercules saat berbagi cerita di depan santri Pesantren Ora Aji yang diasuh Gus Miftah, dikutip dari YouTube Gus Miftah Official.
“Tentunya daerah Lambak Hitam ini ada macam-macam. Ada judi, ada tempat minuman-minuman, banyak orang mabok-mabok, (termasuk prostitusi). Tapi di dalam itu hampir setiap malam berujung mati. Perkelahian, pembunuhan, setiap malam itu terjadi,” cerita Hercules.
Selama menggelandang, uang yang didapat Hercules berasal dari perjudian. Jika berani bertarung dan menang, maka dia akan dikenal dan pasti mendapat jatah besar dari perjudian itu.
Meski menjadi preman yang disegani lawan, selama menggelandang belasan tahun HERCULES sangat pantang mencopet, mencuri, menipu, apalagi memeras. Bahkan, ia pernah bersaksi di pengadilan, “Kalau saya pernah meras orang, saya siap dihukum mati saat itu juga.”
DUNIA HITAM YANG TAK TERPINGGIRKAN
Pengeroyokan, pembacokan, bahkan penembakan menjadu santapan hari- hari HERCULES hampir setiap malam.
Segudang pengalaman kelam ini tak akan pernah bisa terlupakan dalam hidupnya.
“Pernah ditembak satu meter sampai beberapa peluru, tapi itu bukan sekali, ada beberapa kali. Termasuk salah satu mata sebelah kanan enam peluru,” ungkap Hercules.
MENUJU CAHAYA ILAHI
“Allahumma laa maani’a lima a’taita walaa mu’tiya lima mana’ta wala radda lima qadhaita wa laa yanfa’u dzaljadda minkaljadd. Artinya: “Ya Allah tidak ada yang mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang bisa memberi apa yang Engkau cegah, dan tidak ada yang bisa menolak ketetapan Mu.
Setelah bertahun-tahun berkelana menjadi seorang gelandangan, akhirnya HERCULES memutuskan hijrah dan menjadi kisah mualaf. Sejak itu, ia mengenal Islam dan mempelajari agamanya secara intensif.
Setelah saya mualaf di tahun 90, bapak empat anak ini sudah mulai belajar-belajar. Belajar doa, belajar sholat. Menurutnya, jatah umur semakin berkurang. Umur makin bertambah menjadi tua. Perubahan itulah yang kerap menghantui pikiran sang “Raja” kehidupan malam.
“Hidup sementara di dunia ini pasti ada dosa yang sengaja diperbuat dan tidak sengaja diperbuat. Kalau memang Allah masih (memberi) kita kesempatan untuk kita perbaiki, memberikan kesehatan, untuk kita berubah langkah-langkah dari yang tidak baik menjadi baik, kita harus tahu bahwa hidup ini sementara,” tutur HERCULES, yang kini terlihat rajin puasa dan bersedekah. Ia sering menyantuni anak-anak yatim. Bagi dia, sedekah bukan mengurangi rezeki, justru rezeki semakin bertambah.
SELAYANG PANDANG
Rosario de Marshal alias HERCULES adalah tokoh masyarakat yang dikenal sebagai figur kontroversial. Pada awalnya, dia dikenal sebagai mantan preman Tanah Abang yang memiliki kekuasaan di wilayah Jakarta.
Pada 2022, HERCULES diangkat sebagai tenaga ahli di Badan Usaha Milik Daerah atau BUMD DKI Perumda Pasar Jaya. Dia menduduki jabatan tersebut bersama M Rifky alias Eki Pitung. Melalui keterangan tertulis, pihak Perumda Pasar Jaya mengatakan pengangkatan HERCULES dan Eki Pitung sebagai tenaga ahli sudah melalui mekanisme yang berlaku.
Sebelum menjadi tenaga ahli di Perumda Pasar Jaya dan jadi tokoh di Tanah Abang,. HERCULES sempat membantu operasi militer di Timor Timur. Bahkan nama HERCULES adalah julukan yang diberikan kepadanya oleh Komando Pasukan Khusus yang bertugas di Timor Timur pada 1975.
Julukan ini berasal dari para tentara yang kagum melihat Rosario mampu memikul karung seberat 100 kilogram meski badannya kecil. Dia lalu dibawa ke Jakarta setelah mengalami kecelakaan helikopter yang melukai lengannya.
Berasal dari keluarga petani di Dili, HERCULES tiba di Jakarta sekitar tahun 1987 sebagai bagian dari kampanye penerimaan masyarakat Timor Timur oleh Indonesia. Alih-alih bekerja di pabrik elektronik seperti rencana awal, ia justru berjualan rokok di kawasan Tanah Abang. Di pusat perdagangan tekstil terbesar di Asia Tenggara itu, HERCULES sering menjadi sasaran pemalakan para preman.
Namun, seperti yang dicatat dalam buku Politik Jatah Preman karya Ian Douglas Wilson (2015), Hercules tidak tinggal diam dan selalu siap melawan. “Bahkan saat mandi pun saya membawa pedang, karena musuh bisa menyerang kapan saja,” ungkapnya kepada Wilson.
Popularitas HERCULES semakin meningkat seiring waktu. Pada tahun 1993, kelompok yang dipimpinnya—terdiri dari pemuda Timor Timur—diperkirakan berjumlah sekitar 400 orang. Setahun kemudian, kelompok tersebut berhasil menguasai Kelurahan Jatibunder, Tanah Abang, yang sebelumnya didominasi kelompok Betawi dan Madura. Mereka bahkan mengontrol pungutan dari pedagang di pasar utama serta kegiatan di kawasan Bongkaran dekat stasiun.
HERCULES tetap bertahan di Tanah Abang hingga tahun 1997. Namun, dalam sebuah bentrokan berdarah yang disaksikan oleh pasukan Komando Daerah Militer Jakarta Raya, kelompok Betawi yang dipimpin Muhammad Yusuf Muhi alias Ucu Kambing berhasil mengusir mereka, menewaskan empat anggota kelompok Hercules.
Setelah tragedi tersebut, HERCULES sempat menetap di kampung halaman istrinya di Indramayu tetapi tetap menjalankan bisnis jasa keamanan, sebagaimana diungkapkan Kolonel (Purnawirawan) Gatot Purwanto, perekrut HERCULES saat bertugas di Timor Timur.
HERCULES dikenal dekat dengan Prabowo Subianto. Mereka bertemu pertama kali ketika terjadi perang saudara di Timor Timur. HERCULES memberikan bantuan logistik kepada TNI, khususnya pasukan Kopassus yang dipimpin oleh Prabowo. Hubungan keduanya berlanjut hingga sekarang.
Penulis: Ozan Koto
Editor: Gamal Hehaitu
(Dari berbagai sumber)