Kepala Kankemenag Jaksel (Batik) dengan Kanit Subdit Kontra Radikal Densus 88 Mabes Polri …AKBP Moh. Dofir, SAg, SH, MH
Jakarta, metromedia.id – Kementerian Agama (Kemenag) Kota Jakarta Selatan bekerja sama dengan Detasemen Khusus (Densus) 88 menggelar silaturahmi bersama para Ta’mir Masjid dan Mushalla di Jakarta.
Haflah (Acara) ini digelar sebagai upaya memperkuat pemahaman Islam Wasathiyah dan mencegah berkembangnya paham intoleransi, radikalisme, ekstremisme, serta terorisme di tengah masyarakat.
Makna dari Islam wasathiyah itu sendiri menurut Kepala Kantor Kementerian Agama (Ka. Kankemenag) Kota Jakarta Selatan, HM. Yunus Hasyim, adalah ajaran Islam yang moderat, yang menekankan pada sikap adil, keseimbangan, dan toleransi.
“Umat Islam yang menerapkan Islam wasathiyah disebut ummatan wasathan, yang berarti umat pilihan yang selalu bersikap adil dan menengahi,” ungkap pria yang akrab disapa Gus Yunus di Kantornya, Rabu (13/11/2024)
Gus Yunus membeberkan, ciri-ciri umat wasathan, antara lain: Berilmu dan bertindak bijaksana, Mengamalkan ajaran agama secara wajar, Melaksanakan dan menegakkan hukum secara adil, Mengambil jalan tengah dalam menyelesaikan masalah, Menghargai perbedaan pandangan dan pemikiran.
Pada kesempatan itu juga, Gus Yunus menekankan pentingnya gelaran ini, yang disebutnya sebagai inisiatif strategis dalam menjaga keharmonisan di wilayah tersebut.
“Kemenag Jakarta Selatan merupakan satu-satunya Kemenag tingkat kota dan kabupaten di Indonesia yang menjalin hubungan erat dengan Densus 88 serta bekerja sama dalam upaya pencegahan tindak intoleransi, radikalisasi, ekstremis, dan terorisme,” ungkap Gus Yunus.
Sementara Kasubdit Kontra Narasi Densus 88, AKBP Moh. Dofir, dalam sambutannya menyampaikan peran strategis para Ta’mir Masjid, Mushalla, Da’i, Khatib, dan Penyuluh dalam menyuarakan anti kekerasan. Ia menegaskan bahwa pendekatan hati sangat penting dalam menanggulangi berbagai bentuk intoleransi di tengah-tengah umat beragama.
“Basis terdepan dalam pencegahan tindak intoleransi dan terorisme adalah penyuluh, da’i, dan khatib. Terorisme tidak merujuk pada satu agama tertentu, dan radikalisme bisa muncul di semua agama,” tandas Dofir.
Sedangkan, Peneliti Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Rida Hesti Ratnasari, turut memberikan pandangan terkait pentingnya mendeteksi dan mencegah pemahaman radikal sejak dini.
Menurutnya, bila paham-paham radikal tidak terdeteksi baik oleh pemerintah maupun lingkungan, maka hal tersebut dapat membahayakan keamanan dan persatuan negara.
“Kami menitipkan pesan agar Bapak dan Ibu penyuluh serta dai-dai sekalian dapat mencegah penyebaran paham radikal sejak dini. Radikalisme biasanya dimulai dengan memasuki komunitas-komunitas kecil hingga berniat mengubah NKRI secara menyeluruh,” tutur Rida.
Sekjen Forum Silaturrahmi Ta’mir Masjid dan Mushalla, Anas Kurdi, yang mewakili para Ta’mir, menyoroti pentingnya menghargai perbedaan, termasuk dalam praktik ibadah.
“Kita harus menghargai perbedaan tersebut selama perbedaan itu masih dalam koridor Islam. Penghargaan terhadap perbedaan ini merupakan bagian penting dari menjaga keharmonisan dan kedamaian dalam masyarakat,” kata Anas.
Acara yang mengusung tema Penguatan Islam Wasathiyah untuk Mewujudkan Indonesia yang Damai ini diakhiri dengan doa bersama untuk mewujudkan Indonesia yang damai dan harmonis.
Penulis: H. Gamal Hehaitu