
DARI BAHASA MANA ASAL-USUL KATA “KYAI”
Penulis: Gamal Hehaitu
(Dari berbagai sumber)
PADA era tahun 2000-an atau bahkan bagi yang sudah berusia diatas 50 tahun, masih membathin. Darimana asal- muasal kata KYAI dan dari bahasa apa? Setelah lama ditelusuri darimana sebenarnya asal kata “Kyai/Kiyai” akhirnya sejumlah informasi dapat dijadikan refferensi, meskipun masih belum terlalu lengkap.
Untuk mengendus akar katanya, patut mencari beberapa buku yang mengulas etimologi kata itu serta mendengar beberapa sumber yang bercerita lisan.
Kata, KYAI atau KIYAI, ditengarai sudah lama digunakan, jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia. Sejak kebudayaan china berintegrasi di Indonesia. Terkuak istilah ini tersusun dari dua kata, yaitu “Ki” dan “Yai”. “Ki” adalah sebutan untuk laki-laki yang dituakan, dihormati atau memang sudah tua. Sedang “Yai” adalah kata yang asalnya dari dialek daerah-daerah asia tenggara Indochina, yang terpengaruh bahasa sanskrit dan Pali. “Yai” artinya besar, luas, atau agung. Kata ini masih digunakan di Thailand, Burma, Kamboja, dan jawa kuno. Jika digabung, kata KIYAI berarti seorang laki-laki yang dihormati. Dihormati dalam segala kapasitas, bukan hanya selingkaran bidang “agama”.
KYAI ini merupakan sebutan bagi pemimpin atau tetua, di masyarakat lampau, terutama jawa. Meskipun oleh Belanda, kemudian disebar ke daerah lain. Jika di tatar Sunda, dikenal kata “Ajengan” untuk menyebut seorang yang dihormati. Di Aceh, ada “Teungku”, di Sumatera Barat “Buya” di Sulawesi Selatan, ada “Tofanrita”, di madura “Bendara, Bindara, atau Nun” dan di Nusatenggara dikenal sebutan “Tuan Guru”.
Awalnya, di Jawa dikenal sebutan untuk seseorang yang dihormati dengan “Panembahan”, Ki Ageng juga Ki Gede yang sifatnya spiritual-politis. sedangkan penyebutan KIYAI, diberlakukan kepada benda dan fenomena yang spiritualistik, mistik dan dihormati secara cultural. Seperti pusaka,simbol-simbol budaya, hewan-hewan yang disucikan atau makhluk ghaib yang mendiami sebuah tempat yang disakralkan.
Ketika masa awal kolonial, sebutan ini dipergunakan oleh belanda untuk disematkan kepada pejabat-pejabat politiknya dan disebar di daerah lain. Maka di Kalimantan Selatan di kenal istilah KIYAI, merupakan pangkat bagi pegawai negeri setingkat Wedana, hingga Demang. Bahkan, di Sumatera Barat, juga ada gelar “KIYAI ” diperuntukkan bagi keturunan tionghoa yg sudah tua, dihormati.
Dari masa kolonial itulah kemudian, penggunaan kata KIYAI, merambah ke ranah lain, dan disematkan kepada seorang yang pandai ilmu “agama”. Padahal, semasa walisongo, dan awal penyebaran islam di jawa, ada sebuah istilah utk menyebut seorang yang mumpuni di ilmu agama, yaitu SUNAN. Sunan adalah kependekan dari SUSUHUNAN. Ada yang menafsir, kata ini maksudnya adalah susunan, yang dimaksud adalah susunan jari sepuluh. Yakni merujuk pada sikap tangan ketika menghadap seseorang yang dihormati pada posisi di depan wajah, atau dada. Kata lainnya “menyembah”.
Versi lain juga menyebut, kata susuhunan, berakar dari kata “Susuh” yaitu sarang burung. Perlambang rumah kosmologis yang tinggi. Sarang burung diidentikkan dengan rumah kasih sayang yang posisinya di ketinggian, senada dengan gambaran kosmologi jawa tentang SWARGALOKA. Pendapat lain lagi, susuhunan yang kemudian disingkat menjadi sunan itu adalah hasil bias fonem dari kata suwun, sinuwun, sinuwunan. Suwun itu minta, sinuwun itu yang dimintai, sinuwunan adalah permintaan. lalu beberapa suku kata lebur hingga berubah menjadi susuhunan. Kata SUNAN ini menjadi predikat, bagi seorang yang dihormati dengan kapasitas keilmuan Islamnya. Populer bersamaan dengan diserapnya kata wali. Semasa kolonial-lah, kemudian kata SUNAN menjadi “atasan” terhadap sebuah kata yang dialih- sematkan dari benda/fenomena ke manusia, KIYAI.
Sejak saat itu, sebutan KIYAI populer sebagai predikat subordinat dari sunan & wali, untuk gelar bagi seorang laki-laki yang dihormati karena ilmu agama. Gelar ini juga disandang dan bersanding dengan julukan pusaka seperti keris, tombak, dan juga hewan-hewan tertentu, yang masih dipakai di keraton jawa. Di kalangan BETAWI, yang tadinya populer menyebut seorang ahli agama dengan sebutan “GURU”, akhirnya ikut ketularan. Ada Guru Mughni di Kuningan, Guru Marzuki di Jatinegara, Guru Udin di Kalibata Pulo & Guru Amin di Kalibata.
Lantas di kemudian hari, kalangan ulama BETAWI turut serta menggunakan kata KIYAI sebagai gelar. Buya Hamka pernah mengemukakan bahwa pada tahun 1960-an, gelar guru masih dipakai di betawi, hingga orde baru akhirnya kata KIYAI digunakan sebagai simbol ahli agama.
Barangkali, gelar Kiyai ini memang sudah terlanjur dinikmati, hingga riwayat etimologinya pun tersingkirkan, dan muncul paradoks dimana-mana. Maka ketika ke Yogya untuk menyaksikan dan menghadiri acara sekatenan, disana ada gamelan bernama KIYAI sekati. Benda bukan manusia. Juga jangan kaget dengan pusaka JAKA TINGKIR yaitu Tombak Kiyai Plered, serta dengan Bendera keramat keraton Yogya yang bernama Kiyai Tunggul Wulung. Di keraton Solo, ada kerbau yang spesial bernama Kiyai Slamet, keturunan kerbau bule milik Sultan Agung Hanyakrakusumo. Kini sebutan “KIYAI” kepada ahli di bidang ilmu agama Islam lebih populer.***