
Oleh: Gamal Hehaitu
(Pemimpin Redaksi METROMEDIA.ID)
Masyarakat Indonesia dikenal kuat memegang prinsip keagamaan. Namun di sisi lain, praktik korupsi tumbuh subur. Bahkan agama terkesan dijadikan sebagai Topeng Korupsi. Sehingga perbuatan korup itu sudah dianggap biasa?
Dalam sejarah kelam, sudah ada dua menteri agama di Indonesia dibui lantaran melakukan korupsi. Mereka adalah Said Agil Husein Al Munawar yang masuk penjara pada 2006, dan Suryadharma Ali yang menerima vonis pada 2016.
Deretan proyek yang dikorupsi tidak main-main, yakni biaya penyelenggaraan ibadah haji yang angkanya mencapai ratusan miliar. Ada juga kasus pengadaan kitab suci. Atau, kepala daerah digelandang KPK dan diketahui menggunakan sebagian dana yang dikorupsi untuk menyumbang rumah ibadah atau melakukan perjalanan keagamaan.
Banyak pertanyaan muncul seputar fenomena itu.
Apakah faktor agama atau kehidupan yang religius tidak menjadi penghalang bagi seseorang untuk melakukan korupsi? Atau, bagaimana mungkin koruptor melakukan aksinya di pos-pos anggaran yang terkait langsung dengan urusan akhirat?. Bagaimana pula seorang calon kepala daerah yang jelas melakukan korupsi dan ditangkap KPK, bisa dipilih masyarakat di daerah yang terkenal agamis dan menang dalam Pilkada?.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) dalam dua tahun terakhir menyoroti hal tersebut dengan menggelar survei tren persepsi publik tentang korupsi, afiliasi organisasi agama dan demokrasi. Ada banyak hal terungkap dalam hasil survei.
Kuskridho Ambardi, Direktur Eksekutif LSI dalam mengungkap hasil survei di Yogyakarta, Rabu (26/9/18) silam, menegaskan responden memiliki sikap dan tindakan yang berbeda terhadap praktik korupsi.Masyarakat cenderung mengaku tidak bisa menerima korupsi, tetapi di sisi lain bisa memaklumi praktiknya.
Lebih mengejutkan lagi, responden yang menjadi anggota organisasi keagamaan di Indonesia, kenyataannya cenderung lebih pro-korupsi. Fakta ini bisa dibuktikan dengan kenyataan bahwa dalam sistem politik di Indonesia, organisasi keagamaan justru kadang menjadi saluran mengorganisasikan proses jual beli suara.
“Money politic itu bisa dilakukan melalui organisasi keagamaan. Daripada partai menghubungi orang satu persatu, kalau memberikan amplop lebih mudah jika diserahkan pada organisasi A,” sebut Kuskrihdho, seraya memaparkan, amplop itu kemudian mengalir. Akhirnya organisasi keagamaan seperti juga organisasi lainnya, menyediakan jaringan untuk menjangkau ke publik. “Kompas moral organisasi keagamaan sebagai sumber nilai, itu menjadi sekunder,” urai Kuskridho.
Survei ini dilakukan terhadap 1.520 responden di seluruh Indonesia. Sejumlah temuan, antara lain bahwa masyarakat percaya pemerintah melakukan banyak upaya memerangi korupsi. Tetapi masyarakat juga meyakini angka korupsi di Indonesia masih tinggi.
Menurut pengalaman responden, tiga urusan yang paling sering menimbulkan korupsi adalah dengan kepolisian, pengadilan dan pendaftaran Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Sekitar 25 persen responden menjadi anggota organisasi keagamaan dan 28 persen aktif di organisasi sekuler. Survei menemukan fakta, anggota organisasi sekuler bersikap lebih anti-korupsi dibandingkan dengan responden yang menjadi anggota organisasi keagamaan.
Mohammad Iqbal Ahnaf dari Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) menilai, ada ambiguitas etik dalam persoalan terkait korupsi di Indonesia. Semua agama melarang korupsi dan mencuri, tetapi penganutnya membenarkan tindakan korupsi dengan dalih tertentu.
“Mengambil barang yang bukan haknya adalah dosa. Tetapi, ada nilai-nilai yang diyakini oleh sebagian masyarakat beragama bahwa tujuan membenarkan cara,” tutur Iqbal.“Tidak apa-apa korupsi, asal hasil dari korupsi itu digunakan untuk hal-hal yang baik. Menjadi tugas dari agamawan untuk menjadikan ambiguitas ini menjadi lebih jelas.”
Iqbal juga menilai ada faktor pendorong lain, yaitu kepercayaan bahwa dosa, termasuk dosa-dosa akibat perbuatan korupsi, dapat ditebus melalui amal. Alhasil, dalam banyak kasus korupsi, pelakunya sengaja menyebar uang haram tersebut ke lembaga-lembaga keagamaan.
“Orang akhirnya menoleransi praktik korupsi, karena dia yakin ada pola tebusan itu,” kata Iqbal.
Sementara, dosen dan peneliti dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Arya Budi, menjadikan kasus pemilihan Bupati Tulungagung, Jawa Timur sebagai contoh nyata fenomena ini. Arya Budi saat ini sedang melakukan penelitian di dua daerah di Jawa Timur untuk mengamati lebih jauh isu tersebut.
Seperti diketahui, Syahri Mulyo adalah petahana yang memenangkan pemilihan Bupati Tulunggagung beberapa waktu lalu. Satu hal yang mengejutkan, kemenangan itu diperoleh Syahri ketika sudah berada dalam tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Muncul tanda tanya besar, bagaimana mungkin masyarakat Tulungagung begitu mudah memilih kembali seorang koruptor untuk memimpin daerah mereka sendiri. Tulungagung adalah wilayah dengan basis keagamaan yang kuat secara kultural.
“Dia menang hampir 60 persen, dan dia koruptor. Salah satu penjelasannya adalah mesin partai bekerja dengan menempatkan kandidat ini sebagai korban dari proses electoral,” beber Arya Budi, seraya menguraikan, Syahri tertangkap dalam proses pemilu, dikampanyekan dia sebagai korban, sehingga orang tetap memilih orang ini, terlepas bahwa dia korupsi atau tidak.
Bupati Tulungagung dilantik di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Selasa (25/9). Dalam keterangannya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) saat itu Tjahjo Kumolo menegaskan Bupati Tulungagung terpilih Syahri Mulyo langsung diberhentikan begitu dilantik, dan digantikan wakilnya sebagai pelaksana tugas.
“Walaupun Bupati terpilih diberhentikan sementara, pemerintah pusat menjamin bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik kepada masyarakat Kabupaten Tulungagung berjalan normal”, sergah Tjahjo.
Sedangkan Zainal Arifin Muchtar, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi menyebut upaya Indonesia melawan korupsi berada dalam treadmill effect. Mengambil pengandaian tersebut, Zainal yang akrab disapa Uceng, mengatakan pemerintah melakukan banyak upaya hingga banjir keringat. Namun, karena seolah berada di atas treadmill, keringat yang keluar itu tidak membawa upaya pemberantasan korupsi ke titik yang lebih maju, alias hanya jalan di tempat.
“Karena itu saya bisa menerima hasil survei yang mengatakan bahwa masyarakat percaya pemerintah sudah melakukan banyak usaha memberantas korupsi. Tetapi dalam butir lain, masyarakat juga menegaskan bahwa kasus korupsi di Indonesia masih sangat tinggi,” ujar Uceng.
Kondisi ini, imbuhnya tidak terlepas dari cara pandang pemeluk agama terhadap agama itu sendiri. Dalam keseharian, agama lebih diutamakan dalam praktik-praktik keagamaan, dan tidak dijadikan ukuran nilai dan pemandu moral dalam bertindak.
“Keagamaan itu adalah soal tepat waktu, puasa Senin-Kamis. Faktor-faktor formalnya yang meninggi dibanding soal nilai. Melupakan bahwa agama itu kadang lebih banyak soal akhlak sebenarnya,” tukasnya.
Zainal.
Tugas kita menemukan sebabnya, dan memberikan formula atau obat yang tepat, kalau kita bicara soal perbaikan ke depan.
_Dari berbagai sumber_ ***