Jakarta, metromedia. id – Sengkarut tertunggaknya tunjangan transportasi dan jasa profesi untuk penghulu menjadi persoalan yang senantiasa berulang dari tahun ke tahun.
Jika hal ini tidak segera diatasi, maka ia bisa menjadi bom waktu yang bisa meledak setiap saat. Keresahan dan kegalauan para penghulu seluruh Indonesia bisa menjadi gerakan-gerakan yang sulit dikendalikan.
Demikian disebutkan Abdurrasyid Ridha
Anggota Biro Kajian Hukum Islam & Karya Ilmiah Pimpinan Pusat Asosiasi Penghulu Republik Indonesia
(PP APRI).
Menurutnya, agar hal itu tidak terjadi, para pemangku kebijakan sepatutnya membuat terobosan kebijakan yang nyata dan terukur, bukan sekedar janji yang kemudian dilupakan seiring waktu.
“Untuk itulah, kami berupaya membantu memetakan akar persoalan ini agar bisa dicarikan solusi yang terbaik, ” kata Abdurasyid
Tidak Masuk Akal
Alasan Menurunnya PNBP NR. tegas Abdurrasyid, salah satu alasan yang dijadikan kambing hitam atas tertunggaknya tunjangan transportasi dan jasa profesi bagi penghulu adalah menurunnya PNBP NR.
“Alasan inilah yang sering digunakan oleh Ihsan Bayu Merdeka, perencana di Bimas Islam Pusat, ” tegas Abdurrasyid, seraya menegaskan, Ketua Umum APRI melalui voice note juga sudah pernah mengkritik keras alasan yang dibuat oleh Mas Bayu tersebut.
Alasan itu, ucap Abdurrahman, tidak logis dan terlalu dibuat-buat.
Mengapa tidak logis dan terlalu dibuat-buat, imbuhnya, karena besar dan kecilnya jaspro sesuai dengan jumlah PNBP yang disetorkan oleh pengantin. Saat setoran PNBP NR turun, maka turun pula anggaran untuk jaspro. Saat setoran PNBP NR naik, maka naik pula anggaran untuk jaspro penghulu.
Alasan tersebut bisa menjadi logis jika tunjangan jaspro naik atau tetap, sementara setoran PNBP NR turun, sehingga dana yang masuk tidak cukup untuk membayar jaspro. Namun faktanya, tunjangan jaspro mengikuti jumlah PNBP yang disetorkan ke kas negara.
Lebih lanjut dipaparkan, alasan bahwa perencanaan anggaran berdasarkan realisasi PNBP tahun sebelumnya justru tidak sesuai dengan faktanya.
“Jika dilihat fakta dan datanya, perencanaan anggaran justru tidak pernah menyesuaikan dengan realiasasi penerimaan PNBP pada tahun sebelumnya, ” tukasnya.
Abdurrasyid mengajak seluruh komponen agar melihat datanya.
Tahun
Target PNBP
Realisasi Penerimaan PNBP Tahun Sebelumnya
Selisih
2020
787.495.800.000
883.380.971.243
95.885.171.243
2021
852.639.150.000
748.263.703.259
-104.375.446.741
2022
893.594.760.000
795.442.502.937
-98.152.257.063
2023
877.948.750.000
781.787.748.578
-96.161.001.422
(Sumber : Rakor Alokasi MP Bimas Islam)
Dari data di atas, ungkap Abdurrahman, bisa dilihat betapa perencanaan anggaran memang tidak menyesuaikan realisasi penerimaan PNBP pada tahun sebelumnya.
Misalnya, pada tahun 2023, target PNBP yang ditetapkan adalah Rp. 877.948.750.000. Target ini jauh di atas angka penerimaan PNBP pada tahun 2022, yaitu Rp. 781.787.748.578. Terdapat selisih sampai Rp. 96.161.001.422.
Dari aspek perencanaan ini saja, sudah terlihat bahwa pihak perencana anggaran ini memang terlalu berspekulasi untuk menetapkan target penerimaan PNBP yang terlalu tinggi, jauh di atas realisasi penerimaan PNBP pada tahun sebelumnya.
“Hal ini saja sudah terlihat betapa ugal-ugalannya perencanaan keuangan Bimas Islam, ” tukasnya.
Dia menilai adan yang aneh saat pagu untuk transportasi dan jasa profesi penghulu ditetapkan oleh pihak Bimas Islam. Pagu jaspro selalu saja lebih rendah dari kebutuhan riil transport dan jasa profesi penghulu. Padahal pagu DIPA dari Kemenkeu masih jauh lebih besar. M
Hal ini tentu saja juga menjadi salah satu penyebab menjadi terus terhutangnya jasprof para penghulu.
Untuk lebih jelas, tandas Abdurrasyid, bisa dilihat dari data berikut ini:
Uraian
2019
2020
2021
2022
2023
Pagu PNBP
716.037.990.000
593.257.349.000
682.024.705.000
714.875.808.000
714.481.441.000
Peristiwa NR Luar Kantor
1.422.740
1.227.461
1.328.141
1.299.565
980.517
Jumlah Peristiwa Nikah/Rujuk
1.929.585
1.716.351
1.743.450
1.705.348
1.277.387
Pagu Jaspro
440.745.380.000
357.245.832.000
369.354.795.000
336.707.118.000
251.049.971.000
Asumsi Nilai Rata2 Per N
322.689
303.062
306.960
308.594
300.000
Kebutuhan Jaspro
459.102.275.000
371.997.150.000
407.685.900.000
401.037.950.000
294.155.100.000
(Sumber: Rakor Alokasi MP Bimas Islam)
Dari data di atas, kita bisa ambil contoh pada tahun 2022.
Pada tahun 2022, pagu jaspro yang ditetapkan oleh Pihak Bimas Islam adalah Rp. 336.707.118.000. Sedangkan kebutuhan riil jaspro adalah Rp. 401.037.950.000. Dengan demikian, ada selisih sampai Rp. 64.330.832.000. Hal ini menunjukkan bahwa memang ada yang salah dalam hal penganggaran. Jika memang penetapan pagu jaspro benar-benar berdasarkan penerimaan pada tahun sebelumnya, maka angka pagu jaspro paling tidak akan berbeda jauh. Namun perbedaan angaran kebutuhan riil jaspro pada tahun berjalan dan pagu jaspro yang ditetapkan benar-benar memiliki perbedaan yang jauh.
Menyalahkan Pihak Kemenkeu cq Direktorat Jenderal Anggaran yang menetapkan Maksimum Pencairan (MP) yang tidak mencukupi kebutuhan Pihak Bimas, juga adalah tidak tepat.
Penetapan MP memang berdasarkan jumlah PNBP yang disetorkan dan realisasi penyerapan anggaran. Pihak Kemenkeu tidak ikut dalam menetapkan berapa pagu untuk kegiatan dan berapa pagu untuk jaspro di lingkungan Bimas Islam.
Saat pagu untuk berbagai kegiatan dan kebijakan, seperti program mandatory dan belanja modal dari pihak ketiga, ditetapkan jauh lebih besar daripada pagu jaspro penghulu, maka hal itu sepenuhnya kewenangan Pihak Bimas.
“Dengan demikian, naik atau turunnya penerimaaan PNBP, tidaklah memiliki korelasi logis dengan tertunggaknya jaspro para penghulu, ” tandas Abdurrasyid.
penghulu tetap memiliki hak jaspro sesuai dengan PNBP yang telah disetorkan oleh para pengantin, dan sesuai dengan pelaksanaan pencatatan nikah yang mereka laksanakan.
“Tertunggaknya jaspro adalah karena memang kebijakan penganggaran yang tidak sesuai dengan regulasi yang ada, ” jelasnya.
Dipaparkan, kegiatan yang Tidak Sesuai Tujuan Peraturan Pemerintah Selain aspek perencanaan, dilihat dari data yang disampaikan oleh Dirjen Bimas, terlihat dengan jelas bahwa banyak program dan kegiatan yang dibebankan kepada PNBP.
Padahal kegiatan-kegiatan tersebut bukanlah tujuan organik dari penggunaan PNBP NR sesuai amanat PP 48 Tahun 2014 jo PP 19 Tahun 2015 jo PP 59 Tahun 2018, yaitu untuk transportasi dan jasa profesi petugas pencatat nikah.
Berdasarkan data yang dikumpulkan metromedia.id antara lain meliputi; kegiatan-kegiatan yang dibebankan kepada PNBP tersebut adalah :
- Pengadaan tanah KUA
Pada 2020 ke belakang, pengadaan tanah KUA itu berasal dari rupiah murni, tidak mengambil dari sumber PNBP. Namun memasuki tahun 2021 sampai sekarang, program tersebut justru bersumber dari PNBP NR. Hal ini tampak memiliki korelasi dengan program revitalisasi KUA yang notabene merupakan salah satu dari tujuh program prioritas Kementerian Agama.
- Rehab KUA
Rehab KUA sebenarnya adalah kegiatan yang mestinya bersumber dari rupiah murni, dan benar-benar melalui proses penganggaran yang baik sejak awal tahun. Hal itu karena kantor KUA adalah gedung pemerintah yang mestinya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk melakukan rehabilitasi. Tanggung jawab itu mestinya dituangkan dalam penganggaran yang baik dalam DIPA rupiah murni, bukan berasal dari PNBP yang jumlahnya terbatas dan fluktuatif berdasarkan jumlah pernikahan yang masuk.
Program Mandatory
Program inilah yang paling banyak menyedot anggaran PNBP. Bahkan pada saat seluruh penghulu se Indonesia menjerit tentang jasa profesi dan transportasi yang tidak kunjung dibayar, rencana pengajuan MP per 3 Oktober masih mencantumkan program mandatory yang berada di angka 20 miliar rupiah. Angka tersebut sangat jomplang dengan angka pemenuhan tunggakan jasa profesi dan transportasi penghulu yang hanya berada pada angka 6,7 miliar rupiah.
“Hal ini sungguh ironis! Seperti tidak ada sense of crisis dari para pemangku kebijakan di atas, ” tutur Abdurrasyid.
Di antara program mandatory yang dibiayai dari PNBP adalah moderasi beragama.
Hal ini menunjukkan betapa politik anggaran di lingkungan Kementerian Agama masih lemah. Jika memang program moderasi beragama merupakan sebuah program prioritas yang penting, mengapa tidak diperjuangkan agar masuk dalam anggaran DIPA rupiah murni ?! Bukan dengan mengorbankan hak ribuan penghulu yang sudah melaksanakan tugasnya.
Selain itu, program mandatory yang juga dibiayai oleh PNBP NR adalah kegiatan Gerakan Keluarga Maslahat dan Sertifikasi Halal.
Kedua kegiatan ini, menurut Abdurrasyid, sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan kegiatan kepenghuluan. Bahkan lebih tepatnya, kedua kegiatan tersebut adalah ranah para penyuluh agama.
Namun anehnya, justru kedua kegiatan tersebut dibiayai oleh PNBP NR.
Kompetisi Film Pendek Islami.
Di antara kegiatan yang juga perlu dikritisi adalah Kompetisi Film Pendek Islami. Nilainya sangat fantastis, yaitu Rp. 2.336.948.000.
Kegiatan ini sebenarnya sangat jauh dari tujuan ditetapkannya PNBP NR. Jika memang kegiatan itu penting, mengapa tidak dibuat anggaran jauh-jauh hari dan berasal dari rupiah murni ?! Bukannya justru mengabaikan hak ribuan orang penghulu seluruh Indonesia, yang sudah bekerja dengan susah payah.
Penghulu : Korban Kebijakan
Sebenarnya para penghulu tetaplah para pegawai negeri yang mesti taat kepada pimpinan. Saat para pimpinan mereka memiliki kebijakan yang bagus tentu saja mereka akan mendukung. Namun saat kebijakan-kebijakan itu justru menggerogoti hak-hak mereka, tentu saja mereka pun berhak untuk melakukan protes.
Dalam kasus PNBP NR, hak para penghulu hanyalah sebagian dari seluruh nominal Rp. 600.000 yang disetorkan ke kas negara. Dari 80 % yang dikembalikan kepada Kemenag senilai Rp. 480.000, setoran PNBP NR yang kembali untuk transportasi dan jasa profesi hanyalah rata-rata Rp. 300.000 per N. Dengan demikian, masih ada sisa Rp. 180.000,- yang bisa digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain selain transportasi dan jasa profesi penghulu.
Di samping itu, sesuai amanat Peraturan Pemerintah dan Kepdirjen Bimas Islam Nomor 600 Tahun 2016, pencairan PNBP mestinya diprioritaskan terlebih dahulu untuk transportasi dan jasa profesi penghulu. Pada saat yang sama, para penghulu seringkali dijadikan obyek kebijakan bahwa mereka harus taat regulasi. Saat mereka sedikit melakukan kesalahan, langsung diviralkan, dan seolah seluruh penghulu ikut bersalah. Namun di saat yang sama, para penghulu juga disodorkan oleh fenomena bagaimana para pemangku kebijakan justru tidak taat regulasi.
Penulis: H. Gamal Hehaitu