
(Oleh : Hasan Yazid Al-Palimbangy M. Ag)
Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita tadabburi firman Allah Subhanahu wata’aalaa berikut ini :
كَلَّا بَلْ لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ * وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin” (QS. Al Fajr: 17-18)
Berikut penjelasan para mufassirun (ulama tafsir) terkait maksud ayat di atas yang kami sarikan dari kitab-kitab tafsir, diantaranya Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Tafsir Al Azhar, Tafsir Al Munir dan Tafsir Al Misbah
Ayat ini merupakan bantahan bagi sebagian manusia yang menganggap bahwa kenikmatan dan kekayaan merupakan bukti keridaan Allah Subhanahu wata’aalaa atas hamba-Nya dan mereka mengira kondisi yang ada padanya akan terus berlanjut dan tidak akan hilang. Dan kesengsaraan adalah bukti kehinaan seorang hamba di hadapan Rabbnya.
Sekali-kali tidak demikian. Ketahuilah, kemuliaan seseorang tidak diukur dari kekayaannya dan kehinaan tidak dipandang dari kemiskinannya. Kemulian diukur dari ketaatan dan kehinaan adalah akibat kemaksiatan seseorang kepada Allah.
Dan ayat ini juga mengarah pada perlakukan orang-orang jahiliyah terhadap orang-orang yang lemah; sebab mereka tidak memperlakukan anak-anak yatim dengan baik, dan mereka menguasai harta yang ditinggalkan orangtua anak-anak itu; bahkan mereka tidak hanya menolak untuk memberi makan dan menginfakkan harta kepada orang yang membutuhkan, namun mereka juga mendorong para pengasuh anak-anak yatim untuk tidak berinfak kepada mereka serta mereka tidak menganjurkan kepada orang-orang untuk mengasihi dan menyantuni mereka sebab orang-orang itu tidak mempedulikan serta memuliakan anak yatim dari rezeki yang telah Allah Subhanahu wata’aalaa berikan kepada mereka.
Padahal memuliakan serta membahagiakan anak yatim dan menganjurkan orang lain untuk melakukan keduanya merupakan kesalehan yang agung.
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
“Dan mereka memberi makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan” (Al-Insan: 8)
Pendapat mayoritas ulama yang dikutif Imam Ibnu Katsir dalam tafsir Ibnu Katsir bahwa dhomir/kata ganti (ه) pada kata حبه pada ayat di atas merujuk kepada makanan, yakni mereka memberi makan orang miskin dengan makanan kesukaan mereka. Demikianlah menurut Mujahid dan Muqatil serta dipilih oleh Ibnu Jarir, semakna dengan ayay Qur’an dan hadits berikut ini :
لَنْ تَنالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
_”Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Ali Imran: 92)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ! أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ، تَأْمُلُ الْعَيْشَ، وَتَخْشَى الْفَقْرَ إِرْوَاءُ الغَلِيلِ
Dari Abu Hurairah bahwa seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling utama?” Lalu beliau menjawab, “Kamu bersedekah saat kamu sedang sehat, sangat menyukai harta benda, mengharapkan hidup (yang panjang), dan takut miskin.” (HR Abu Daud).
Jadikanlah surat Al-Ma’un ayat 1-3 berikut ini peringatan bagi kita semua
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3) فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7)
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.”
Wallahu a’lam bisshowab