Jakarta, Metromedia.id – Buntut penangkapan Tom Lembong dalam kasus impor gula rupanya menggelitik telinga eks Wakapolri Komjen (Pur) Oegroseno.
Ketua Umum Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PTMSI) ini mempertanyakan statemen Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung), Abdul Qohar pada tayangan -tangkapan layar youtube@Abraham Samad Speak Up-
Bahkan Oegroseno menyentil Jaksa itu sekolah di mana?.
Oegroseno yang juga mantan Kapolda Sumut ini menggambarkan, selama dirinya jadi penyidik kalau menyangkut tindak pidana dilihat dulu unsur-unsurnya.
“Kalau Jaksa bilang tidak perlu adanya aliran dana, ini Jaksanya sekolah di mana,” sindirnya.
Mantan Kalemdik Pokri itu juga menyinggung ijazah palsu yang tengah ramai diperbincangkan dan mempertanyakan sekolah dari Jaksa tersebut.
Diketahui bahwa Abdul Qohar dalam wawancara dengan media mengklaim bahwa penangkapan dari Tom Lembong telah sesuai dengan ketentuan.
Selain itu Jaksa yang diduga memakai jam tangan bernilai miliaran ini juga menyampaikan bahwa penangkapan Tom Lembong tidak perlu adanya aliran dana dari impor gula tersebut.
“Kalau seorang jaksa tindak pidana korupsi mengatakan hal itu, maka patut diragukan sekolahnya,” tegas Ugro seraya menyebutkan bahwa administrasi penyidikan salah berat dan kalu sudah berani menangkap Tom Lembong berarti Jaksa sudah pernah memeriksa Menkoekuin, Beacukai kemudian aliran dana yang merugikan keuangan negara.
H. Gamal Hehaitu, MA, Pemimpin Redaksi Metromedia & Komjen (Pur) Oegroseno, mantan Wakapolri
“Jika dilihat dari aliran dana, pasal 2 dan pasal 3 Tipikor semua sama, masa ada pegecualian kalau Tom Lembong tidak harus ada aliran dana, kan aneh di situ,” tegasnya.
Oegro juga menyampaikan bahwa lantaran banyaknya keganjilan saat ini Jaksa mulai kewalahan untuk menjawab.
“Saya melihat Jaksa awalnya kencang sekali seperti tidak ada takutnya, tapi endingnya mulai kelihatan ketakutan,” imbuhnya.
Dari rentetan kasus, Oegro juga menyinggung kasus 27 miliar rupiah yang dikatakan bahwa Menpora ikut menerima namun tidak ditindak lanjuti meskipun dapat dikenakan pasal 480 junto undang-undang 31 tahun 1999 tentang korupsi.
“Sehingga Kejaksaan bisa minta bantuan Polri untuk melakukan penyidikan penadah uang hasil korupsi kepda Menpora,” bebernya.
Dalam hali ini, Oegro juga menyayangkan bahwa penindakan oleh Kejaksaan hanya bicara kuantitas namun tidak kualitas dan itu sampai ke wilayah-wilayah.
Menurut Ugro bahwa kasus Tom Lembong sangat banyak muatan politisnya daripada politik hukumnya. Namu Harli Siregar selaku Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung mengatakan regulasi yang sudah diteken Tom merugikan negara walau saat ini aliran uang korupsi ke Tom masih pengusutan.
“Apakah harus ada aliran dana dulu baru disebut sebagai tindak pidana korupsi,” ungkapnya kepada awak media, Jumat 1 November 2024.
Diterangkannya, berdasarkan bukti yang dikumpulkan, pihaknya meyakini ada perbuatan korupsi berupa kerugian keuangan negara yang dilakukan Tom.
Kejagung mengatakan aturan yang diteken Tom itu berujung pada delapan perusahaan swasta bisa mengimpor gula kristal mentah yang harusnya hal tersebut tak bisa dilakukan.
“Apakah peristiwa itu bisa muncul kalau tidak ada regulasi. Apakah regulasi itu benar,” tukasnya.
Sementara Abdul Qohar menuturkan kalau penetapan seseorang jadi tersangka tidak harus karena menerima duit korupsi.
Dituturkannya, Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kata dia, dalam dua pasal terurai kalau korupsi tak cuma soal memperkaya diri sendiri.
Penulis: Alfaiz/ Ozan Koto
Chief Editor: H. Gamal Hehaitu