Oleh: Ustadz H. Gamal Ambon
Praktik bagi- bagi uang di setiap pesta rakyat lima tahunan telah menjadi hal yang lumrah dalam pemilihan umum di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun lokal.
Secara sederhana, definisi politik uang atau yang sering disebut money politic adalah praktik pemberian uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk mempengaruhi pilihannya dalam pemilu.
Perlu disadari, praktik hambur- hambur duit ini merusak demokrasi lantaran dapat mengganggu pilihan bebas pemilih dan mendorong penyalahgunaan kekuasaan.
Praktik ini juga bisa menggenjot prilaku korupsi karena adanya biaya politik yang tinggi. Pasalnya, calon peserta pemilu atau pilkada harus merogoh koceknya hingga ratusan milyar untuk memenangkan pemilihan.
Modal ini dapat digunakan untuk membayar tim kampanye, iklan, dan menyogok pemilih untuk meraup suara pemilih.
Untuk menutupi biaya politik yang tinggi, calon peserta pemilu atau pilkada yang melakukan politik uang cenderung untuk melakukan korupsi setelah terpilih.
Logika sederhananya, seorang yang menggelontorkan modal di awal yang besar, pasti ingin modal kembali.
Dengan gaji yang sedikit, maka solusinya adalah dengan korupsi. Korupsi dapat dilakukan dengan cara menyalahgunakan jabatan atau kewenangan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Sejatinya, di Indonesia, larangan politik uang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pasal 523 ayat 1,2, dan 3 dan juga pada Pasal 515 dalam UU Pemilu tersebut dinyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Dalam perspektif Islam, praktik politik uang hukumnya adalah haram. Hal ini karena praktik tersebut termasuk dalam kategori risywah, yaitu pemberian sesuatu kepada seseorang dengan tujuan agar orang tersebut melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Dalam Al-Baqarah [2] ayat 188, Allah berfirman terkait larangan memakan harta dengan cara yang haram.
“Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menegaskan, salah satu yang terlarang, dan sering dilakukan dalam masyarakat, adalah menyuap atau menyogok.
Penyogok menurunkan keinginannya kepada yang berwewenang memutuskan sesuatu, tetapi secara sembunyi-sembunyi dan dengan tujuan mengambil sesuatu secara tidak sah.
Allah melarang praktik menyogok ini, karena bertentangan dengan prinsip keadilan dan kejujuran.
Tindakan suap dapat menyebabkan orang yang berwenang mengambil keputusan yang tidak adil dan tidak jujur, karena mereka telah dipengaruhi oleh suap yang diterimanya.
Hal ini dapat merugikan pihak lain yang seharusnya mendapatkan haknya.
Begitupun dalam hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda, bahwa Allah telah melaknat penyuap dan penerima suap.
Laknat adalah kutukan dari Allah SWT, yang berarti pelakunya akan mendapatkan siksa dan murka dari Allah swt.
“Dari Abdullah bin Amr, ia berkata bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang melakukan penyuapan dan yang menerima suap.” [HR Tirmidzi dan Abu Dawud]
Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW tidak hanya melaknat penyuap dan penerima suap, tetapi juga melaknat orang yang menjadi perantara antara keduanya.
Hal ini menunjukkan bahwa suap menyuap adalah perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2000 meneritkan fatwa yang menyatakan bahwa segala bentuk suap, termasuk politik uang hukumnya adalah haram.
Dalam fatwa yang dikeluarkan pada tanggal 28 Juli 2000 itu, MUI merinci bahwa politik uang termasuk dalam kategori Risywah, yaitu pemberian sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk mempengaruhi keputusan atau tindakannya. Risywah hukumnya adalah haram, berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadits.
Dalam fatwa tersebut, MUI juga mengimbau kepada semua pihak untuk bersama-sama memerangi praktik suap dan politik uang demi terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Oleh karena itu, umat Islam harus menghindari praktik politik uang. Baik pemberi maupun penerima uang politik sama-sama berdosa. Sejatinya, dengan upaya-upaya tersebut, diharapkan praktik politik uang dapat dihilangkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuannya, agar iklim demokrasi Indonesia kian sehat.***