Jakarta, metromedia.id – Setelah menunggu selama 4 tahun, warga Jazirah Leihitu yang berdiam di wilayah, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) akhirnya meluapkan kegembiraannya di
Orchardz Hotel Industri, Jakarta, pada Ahad, 21 Juli 2024.
Empat tahun penantian akhirnya Dewan Pimpinan Pusat Jazirah Leihitu Bersatu (DPP- JLB) dideklarasikan.
Menurut Abdullah R. Djokdja salah satu anggota dewan Penasihat JLB, deklarasi ini digelar untuk memperkokoh silaturahmi bagi perantauan anak negeri Jazirah Leihitu yang berada di Jabodetabek, dan mendorong percepatan agar Jazirah Leihitu menjadi Kabupaten.
“Utamanya, ya mendorong agar Jazirah Leihitu terakomodir menjadu KABUPATEN” ungkap Abdullah R. Djokdja yang akrab disapa Ade, kepada metromedia.id di sela-sela acara berlangsung.
Pelantikan Dewan Pimpinan Pusat Jazirah Leihitu Bersatu (DPP – JLB) periode 2024- 2029 berdasarkan Surat Keputusan: No. 1/SK-JLB/XII/2020. Mereka yang dilatik antara lain; Murad Malawat, SH sebagai Ketua Umum, Abd. Gafur Hataul sebagai Sekretaris Jenderal, dan Sabar Peluk, Lorens, Ibrahim Ely, Johanis N. Huwae serta Abdulah Samual, Masing-masing masing menjadi Wakil Ketua Umum.
Rangkaian acara sakral itu diwarnai forum diskusi dengan nara sumber para tokoh Maluku dan para Raja se Jazirah Leihitu.
Forum diskusi itu semakin hangat tatkala peserta yang hadir diberi kesempatan untuk bertanya dan memberi masukan untuk pencapaian Jazirah Leihitu menjadi Kabupaten.
Sebelum acara pengukuhan dimulai, para tamu undangan dipersembahkan dengan tari Soya-Soya berasal dari Maluku Utara. Tari tradisional ini dipercaya telah ada sejak zaman Sultan Baabullah memimpin Kesultanan Ternate, sekitar tahun 1570 hingga 1583.
Hadir pada kesempatan itu, mantan Gubernur Maluku Murad Ismail, SaidIyah Uluputi anggota DPR- RI, Muhammad (Ongen) Sangaji anggota DPRD DKI Jakarta, H. Umar Key, Ketua Umum Front Pemuda Muslim Maluku (FPMM), para pejabat Provinsi Maluku, para Raja se- Jazirah Leihitu dan masyarakat Jazirah Leihitu yang berada di Jabodetabek.
Acara lebih hidmat dan bersemangat, saat dikomandangkan lagu Kebangsaan Indonesia Raya, dan Mars Jazirah Leihitu.
Selayang Pandang
Leihitu adalah jazirah Utara dari pulau Ambon. Dalam sejarah jazirah ini
disebut pula dengan istilah “Tanah Hitu” seperti yang dijumpai dalam naskah
“Hikayat Tanah Hitu” oleh Imam Rijali. Namun istilah Tanah Hitu mempunyai
jangkauan yang sempit dan dimaksudkan adalah bagian Utara dari Jazirah Hitu
yaitu dari negeri Lima sampai dengan Hila.
Masyarakat asli tanah Hitu adalah yang terdiri dari beberapa kelompok
yaitu Tomu, Hunut, dan Mosapal atau Essen, Wawane, Atetu, Nukuhaly, dan
Tehala. Masyarakat asli tersebut merupakan kelompok masyarakat yang sangat
akomodatif terhadap kaum pendatang. Karenanya, ketika Islam datang bersamaan
dengan datangnya keempat penganjur agama Islam, mereka bergabung untuk
membentuk struktur masyarakat baru yang dikenal dengan nama “Uli Halawan”.1
Empat mubaligh yaitu Totoluhu, Tanihitumesseng, Nusapati, dan Pati Tuban,
kemudian mengalami rekonstuksi atas pemetaan wilayah menjadi empat, kerajaan
lebih dikenal sebagai empat perdana memerintah kerajaan islam.2 Nuansa Islam
sangat mewarnai pemerintahan ini, dan jabatan lama dapat dipertahankan seperti;
Tamaela, kepala Soa, kepala atau pemimpin Uli. Disamping itu, muncul pula
jabatan baru yang berciri Islam dan mendominasi pemerintahan mulai dipakai
seperti; Maulana, Imam, Qadhi, Hukom, Khatib dan Modim.3
Menarik diteliti adalah filosofi nama Jazirah kerajaan Leihitu. Bagaimana
asal-usul nama Jazirah yang berpengaruh pada terbentuknya “negeri-negeri” di
jazirah khususnya di wilayah Tanah Hitu sebelum datangnya bangsa-bangsa Barat
yakni Portugis dan Belanda pada abad ke-16 dan ke-17.
Apakah ada hubungan
secara hirarki dengan Jazirah Arab khususnya pada awal perkembangan dakwah
Islam di kerajaan tersebut ?. melalui metode penelitian kualitatif fenomenolog,
sejarah dan antropologi agama, memungkinkan dapat mengeksplor data dan
analisis data secara mendalam, terutama dalam hal filosofi terhadap makna yang terkandung pada sebutan nama kerajaan Jazirah Leihitu yang masyarakatnya
secara fenomenal mayoritas menganut agama Islam meskipun berdampingan
dengan agama Kristen. Tujuannya adalah mengetahui makna nama Jazirah yang
melekat pada sebuah desa atau kampung yang cukup jauh jangkauannya dari
pusat kota Ambon, dan menariknya oleh karena desa tersebut justru dikenal
dengan sebutan Kerajaan Nagari, yakni Kerajaan Negeri Tana Hitu (Leihitu).
Yang dapat diduga dengan penamaan Jazirah mengandung makna khusus
sebagaimana kekhususan terhadap penamaan Jazirah Arab yang menjadi tempat
munculnya kebanyak Nabi dan Rasul.4 Yakni mempengaruhi pula terbentuknya
pendidikan budaya masyarakat secara natural.
Beberapa potensi budaya yang terkandung di dalam masyarakat
Kecamatan Leihitu sebagai salah satu cermin atau gambaran terhadap keaneka
ragaman (kekayaan) dari aspek sosial kebudayaan Indonesia. Potensi budaya
sosial kerajaan yang dimaksudkan tidak terlepas dari unsur-unsur pendidikan baik
agama maupun sosial yang merupakan sejarah peninggalan dari leluhur
masyarakat tanah Hitu (Leihitu). Secara otomatis menjadi warisan nilai-nilai
sosial kerajaan terhadap generasi-generasi selanjutnya, sebagai nilai budaya lokal
(local wisdom) dan budaya keagamaan tasawuf (religiusitas sufistic) yang masih
bertahan pada masyarakat di daerah Hitu. Kemudian menjadi kerangka
pengembangan sosial masa kini dan masa mendatang.
Reporter: Firdaus
Chief Editor: H. Gamal Hehaitu